JOKOWI
Kemunculan Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta periode 2012 – 2017 telah membawa wacana dan referensi baru dalam khasanah kepemimpinan politik di Indonesia. Di tengah maraknya pencitraan elit politik sebagai figur yang santun, berwibawa, kuat dan tegas, kemunculan Jokowi membuat berbeda. Jokowi muncul dengan sikap low profil, jujur, dan dekat dengan warga masyarakat. Gaya kepemimpinan Jokowi layak menjadi referensi karena terbukti kekuasaan yang dimilikinya berorientasi pelayanan kepada masyarakat. Jokowi dengan lihai membangun komuniksi politik untuk terus meningkatkan partisipasi dan dukungan politik bagi keberhasilannya memimpin Jakarta.
Sosok Jokowi begitu dikenal oleh publik nasional meskipun dirinya secara legal formal hanyalah seorang gubernur. Jokowi makin dikenal bukan karena dia gubernur DKI Jakarta, tetapi karena gaya kepemimpinannya yang dipandang banyak kalangan sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekarang. Semula, ketika masih dalam tahap pencalonan sebagai gubernur DKI, begitu banyak pihak yang meragukan kemampuannya meskipun sebelumnya sudah dikenal sebagai walikota Solo yang berhasil dengan banyak prestasi. Tulisan ini bukan hendak melihat kebelakang, tetapi mengkaji sejauhmana kepemimpinan Jokowi yang dipandang baru oleh khalayak adalah hal yang sudah biasa dilakukan Jokowi sejak memimpin kota Solo. Khalayak Jakarta khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya belum biasa melihat gaya Jokowi tersebut sehingga merasa takjub, gembira dan muncul harapan baru akan Jakarta yang lebih baik.
Kemunculan Jokowi membawa fenomena baru dalam kancah kepemimpinan politik di Indonesia. Kebaruan dari sosok gubernur DKI periode 2012 – 2017 yang paling menonjol adalah gaya Jokowi blusukan (berjalan-jalan di tempat-tempat sempit) ke kampung-kampung padat penduduk di Jakarta. Jokowi dengan senang hati menemui warganya guna mengetahui secara langsung permasalahan yang dihadapi masyarakat Jakarta. Dengan mata telanjang, orang dapat melihat betapa Jokowi menjalin komunikasi dengan warganya tanpa jarak. Pengawalan minimum bagi Jokowi menjadikan dirinya lebih leluasa menyapa warganya, sebaliknya warga masyarakat juga leluasa untuk menyampaikan berbagai aspirasinya secara langsung kepada gubernurnya
Jokowi mendatangi kampung-kampung, mendatangi ke tempat permasalahan untuk menyelesaikan masalah. Terbukti Jokowi datang beberapa kali di tempat yang pernah dikunjunginya, tujuannya satu yaitu memastikan apa yang dijanjikan atau disepakati sebagai hasil dari kunjungan awal benar -benar ada tindak lanjut atau ada hasilnya. Misalnya kunjungan di rumah susun sederhana sewa (Rusunawa Marunda), Jokowi datang kedua kalinya untuk mengecek apakah pengecatan dan pemasangan pompa air sudah dipersiapkan. Jokowipun datang untuk ketiga kalinya untuk melihat progres perbaikan rusunawa tersebut
Munculnya Jokowi sebagai gubernur DKI dengan gayanya yang khas ternyata disikapi secara berbeda oleh sebagian elit politik di Jakarta. Jokowi dipandang hanya melakukan pencitraan guna menarik simpati warga. Kegiatan Jokowi juga dipandang membuang-buang waktu sehingga banyak yang menyarankan untuk mengurangi kegiatan blusukannya tersebut.
Bagi Jokowi dan warga Jakarta pada umumnya, pertemuan pemimpin dengan warganya adalah suatu kebutuhan agar komunikasi dapat terus berlangsung antara pemimpin dan yang dipimpin. Benar, bahwa dalam sistem pemerintahan modern, pertemuan seperti itu tidak harus selalu dilakukan karena komunikasi dapat pula dilakukan warga dengan lurah, camat, walikota atau dengan pejabat pemerintahan yang lain, termasuk berkomunikasi kepada wakil-wakil rakyatnya di parlemen.
Gaya kepemimpinan Jokowi yang unik, bukan hanya dari kebiasaannya blusukan, tetapi juga adanya pembagian pekerjaan yang jelas antara dirinya dengan Ahok sebagai wakil gubernur. Walau sebagai wakil Ahok pun mampu bersikap tegas, lantang dan garang karena di dalam dirinya memiliki otoritas bukan sebagai ban serep Jokowi. Alhasil, gebrakan Jokowi tidak hanya dalam membangun komunikasi politik dengan masyarakat, tetapi juga membangun komunikasi dengan elit birokrasi.
Bagi Jokowi, apa yang dilakukan di DKI Jakarta yaitu gaya membenahi internal birokrasi dan gaya blusukan sudah biasa dilakukannya di Solo. Agar berjalan optimal, Jokowi memaksimalkan peran wakil gubernur dengan cara berbagai tugas. Tugas membenahi internal birokrasi guna mempersiapkan performa birokrasi dalam memberikan layanan publik dilakukan oleh wakilnya, Basuki Tjahaya Purnama atau akrab dipanggil Ahok. Tugas menggali masalah yang ada di masyarakat sekaligus menumbuhkan partisipasi warga dilakukan oleh Jokowi.
Pembagian tugas antara kepala daerah dan wakilnya seperti ini sudah diterapkan dan berhasil ketika Jokowi menjabat walikota Solo. Cara ini juga terbukti efektif menunjukkan hasil di Jakarta meskipun dirinya dan Ahok baru menjabat lebih kurang 1 bulan sejak dirinya dilantik tanggal 15 Oktober 2012. Meskipun pujian banyak datang dari warga dan para tokoh, lebih banyak elit politik masih bersikap wait and see terhadap gebrakan Jokowi dalam seratus hari pertama. Dilihat dari kacamata poli tik kekuasaan, keberhasilan Jokowi sebenarnya tidak begitu diharapkan karena akan mengakibatkan semakin kuatnya pengaruh Jokowi – Ahok dan partai pengusungnya yaitu PDI-P dan Gerindra. Karena itu, wajar apabila Sutiyoso menyarankan Jokowi menghentikan kegiatan blusukan dan langsung action. Ruhut Sitompul dari partai Demokrat pun menuduh Jokowi hanya pencitraan atau cari muka di hadapan warga Jakarta. Demikian pula dari DPRD DKI Jakarta sendiri menyarankan agar Jokowi mengurangi kegiatan jalan-jalan atau blusukan tersebut.
Jokowi menanggapi kritikan tersebut sebagai masukan untuk lebih meningkatkan kinerjanya. Terkait dengan saran untuk menghentikan kegiatannya jalan-jalan atau blusukan di lapangan, Jokowi menegaskan akan terus melakukannya selama 5 tahun masa jabatannya. Alasannya sangat logis untuk tetap turun ke lapangan atau blusukan yaitu sebagai fungsi manajemen kontrol. Perencanaan program yang tanpa ada kontrol yang baik dapat mengakibatkan salah sasaran atau kegagalan. Manajemen kontrol tidak mungkin dilakukan hanya di belakang meja, tapi harus melihat langsung di lapangan.
Gaya Jokowi dalam memimpin Jakarta memang mengkhawatirkan bagi orang-orang politik yang berburu kekuasaan. Pasalnya, cara Jokowi dipastikan akan menjadikan Jokowi semakin kuat memperoleh dukungan dari masyarakat luas. Hal ini dibuktikan ketika Jokowi memimpin Solo, dengan selalu turun ke lapangan menemui warga masyarakat dari berbagai kalangan dan profesi, dirinya kemudian terpilih untuk menjadi walikota periode kedua dengan perolehan suara 90% suara. Hal serupa juga akan terjadi apabila Jokowi mampu konsisten dengan caranya tersebut.
Jokowi termasuk pemimpin muda yang diharapkan banyak pihak mampu mengubah Jakarta, bahkan wajah Indonesia. Pria kelahiran 21 Juni 1961 ini dipandang memiliki track record leadership yang baik. Lulusan fakultas Kehutanan UGM ini memulai karier sebagai pengusaha mebel, yang oleh Jokowi sendiri diakui sebagai tukang kayu karena ikut membuat langsung mebel yang diproduksinya. Sukses sebagai eksportir mebel, dirinya masuk ke arena politik setelah dipinang PDI-P untuk menjadi calon walikota Solo hingga berlanjut sampai sekarang.
Selama menjabat, banyak perubahan yang dicapai, di antara branding untuk kota Solo, yaitu: “The Spirit of Java", merelokasi pedagang barang bekas di Taman Banjarsari hampir tanpa gejolak, merevitalisasi fungsi lahan hijau terbuka, memberi syarat pada investor untuk mau memikirkan kepentingan publik, melakukan komunikasi langsung rutin dan terbuka (disiarkan oleh televisi lokal) dengan masyarakat, taman Balekambang yang terlantar semenjak ditinggalkan oleh pengelolanya, dijadikannya taman. Jokowi juga tak segan menampik investor yang tidak setuju dengan prinsip kepemimpinannya. Jokowi juga berhasil mengajukan Solo atau nama resminya Surakarta untuk menjadi anggota Organisasi Kota-kota Warisan Dunia dan diterima pada tahun 2006, termasuk menfasilitasi perdamaian keluarga Kraton Surakarta yang terlibat konflik antar keturunan Pakubuwono XII sejak tahun 2004.
Keberhasilan Jokowi mengubah wajah Solo, tidak lepas dari kemampuannya mengubah birokrasi pemerintahan menjadi birokrasi yang bersifat pelayanan. Semula, birokrasi di Solo ataupun di DKI Jakarta dan Indonesia pada umumnya lebih banyak berperan sebagai organ negara yang lebih memihak pada kepentingan kekuasaan serta mengambil untung dengan menjadi broker bagi pihak yang mendominasi masyarakat (Anwari, 2003) Broker dalam menyelesaikan urusan, mengambil untung dengan pungli dalam memberikan pelayanan serta mempersulit urusan bagi masyarakat yang tidak mampu membayar. Bagi Jokowi dan Ahok, birokrasi pemerintahan adalah organ dalam negara yang mempunyai fungsi pelayanan (service), pemberdayaan (empowerment) sekaligus berperan dalam pembangunan (Rasyid, 1997), Proses mengubah atau mentransformasi birokrasi dari berorientasi pada kekuasaan Sebagai kepala pemerintahan, Jokowi memiliki leadership seperti yang diharapkan oleh masyarakat.
Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang (pemimpin) untuk mempengaruhi orang lain sehingga orang yang dipengaruhi bertingkah laku seperti yang dikehendaki oleh pemimpin. Kepemimpinan ada yang bersifat resmi (formal leadership) ada pula yang tidak resmi (informal leadership). Kemunculan seorang pemimpin merupakan hasil dari proses dinamis memenuhi kebutuhan-kebutuhan kelompok (soekanto, 2002). Sosok Jokowi ketika menemui warga di kampung-kampung di Jakarta dengan pakaian bebas, tanpa pengawalan ketat, bahkan tanpa protokoler kegubernuran sejatinya menampilkan dirinya sebagai pemimpin informal bagi masyarakatnya. Ketika Jokowi mengambil keputusan-keputusan secara cepat ketika persoalan yang ada di lapangan, maka Jokowi juga memperlihatkan diri sebagai pemimpin formal bahwa dirinya adalah gubernur yang memiliki otoritas untuk mengambil keputusan .
Secara teori, ada banyak model kepemimpinan yang dapat diterapkan seperti model transformational, model kharismatik, dan model situasional. Dari berbagai model tersebut, model transformatif lebih menonjolkan peran pemimpin untuk melakukan perubahan-perubahan secara mendasar di dalam organisasi, sehingga kinerja birokrasi menjadi lebih efektif dan efisien.
Kepemimpinan transformasional menurut Avolio dkk (stone at al, 2004) memiliki karakteristik : Idealized influence (or charismatic influence) Inspirational motivation, Intellectual stimulation, dan Individualized consideration. Jokowi mampu menampilkan karakter atau ciri-ciri sebagai pemimpin transformasional.
Karakter idealized influence (or charismatic influence) diperlihatkan oleh kharisma Jokowi yang mampu “menyihir” bawahan untuk bereaksi mengikuti pimpinan. Dalam bentuk kongkrit, kharisma ini ditunjukan melalui perilaku Jokowi yang mencerminkan visi dan misi organisasi yang dipimpinnya yaitu pelayanan kepada masyarakat. Dalam berbagai kesempatan, Jokowi selalu menegaskan agar mengutamakan pelayanan. Kartu Jakarta Sehat guna melayani warga berobat gratis di rumah sakit/puskesmas dan kesiapsiagaan banjir membuktikan perilakunya sesuai dengan misinya yaitu pelayanan.
Dalam hal menjalankan tugas, Jokowi mempunyai pendirian yang kukuh. Ketika kebiasaannya jalan-jalan atau blusukan ke tengah-tengah masyarakat mendapat kritikan banyak pihak, Jokowi justru menegaskan akan terus jalan-jalan selama 5 tahun sebagai wujud pelaksanaan manajemen kontrol. Jokowi memiliki komitmen kuat dan konsisten terhadap setiap keputusan yang telah diambil. Janji untuk mengeluarkan kartu Jakarta Sehat dan Kartu Jakarta Pintar benar-benar diwujudkan beberapa minggu setelah dirinya dilantik.
Karakter idealized influence (or charismatic influence) juga ditunjukkan dengan sikapi Jokowi yang menghargai bawahan, bahkan warganya. Di setiap kesempatan, Jokowi bersedia mendengarkan masukanmasukan dari warganya secara langsung. Sikap menghargai ini tercermin dari dekat nya jarak komunikasi dirinya dengan pejabat-pejabat di bawahnya. Pengaruh kharismatik yang ada pada Jokowi ini tidak lepas dari kemampuannya menjadi role model yang dikagumi, dihargai, dan diikuti oleh bawahannya. Jokowi tidak sedang berwacana tetapi action langsung secara pribadi maupun organisasi. Secara pribadi tampak dari role model yang dimainkan, actions secara organisasi dilakukan karena dirinya mendorong birokrasi agar melaksanakan fungsi pelayanan dengan benar.
Karakter Inspirational motivation ditunjukkan seorang pemimpin yang mampu menerapkan standar yang tinggi akan tetapi sekaligus mampu mendorong bawahan untuk mencapai standar tersebut. Standar tinggi tampak dari kehati-hatian dan penghematan dalam mengelola anggaran, kehati -hatian dalam mempelajari proyek Monorail dan proyek transportasi massal yang cepat MRT (Mass Rapid Transportation), ketelitian dalam melihat detail pelaksanaan program dan layanan di masyarakat. Jokowi tidak serta merta memutuskan actions MRT sebelum semua detail yang ingin diketahui Jokowi terjawab oleh PT MRT. Untuk program yang digagasnya sejak kampanye yaitu normalisasi sungai dan kampung deret pun, Jokowi menerapkan standar tinggi dan hati-hati dalam mengkajinya.
Karakter seperti ini mampu membangkitkan optimisme dan antusiasme yang tinggi dari aparat maupun warga masyarakatnya. Sikap Jokowi menunjukkan bahwa dirinya bersungguh-sungguh, bukan sedang berwacana. Hal ini menjadikan orang-orang yang dipimpinnya optimis standar tinggi yang ditetapkan dapat tercapai. Terobosan-terobosan Jokowi, baik yang masih berupa ide, sedang dirumuskkan ataupun sedang dijalankan mampu memberikan inspirasi dan memotivasi bawahannya. Tindakan Jokowi menggambarkan bahwa selangkah demi selangkah ada perbaikan bagi DKI Jakarta.
Karakter intellectual stimulation terlihat dari kemampuan Jokowi dalam mendorong bawahannya untuk menyelesaikan permasalahan dengan cepat, cermat dan rasional. Walaupun dalam berbagai kesempatan Jokowi tampak dengan mudah menjanjikan tentang suatu perbaikan, tetapi Jokowi juga mengajak masyarakat untuk berpikir rasional. Misalnya, dalam mengatasi banjir, dia sangat rasional bahwa banjir akan diatasi secara bertahap dengan menjalin kerjasama Provinsi Banten dan Provinsi Jawa Barat guna mengendalikan aliran sungai yang berhulu di kedua provinsi tersebut. Demikian pula dalam pembangunan monorail dan MRT, Jokowi cermat dan rasional. Untuk hal -hal yang sebenarnya diselesaikan dengan cepat, lebih efektif dan efisien, Jokowi pun mendesak bawahan untuk segera melaksanakan. Sebagai contoh, ketika melihat sampah menumpuh di pintu air Manggarai, dirinya langsung meminta bawahan untuk mengirimkan tambahan 1 ekskavator untuk mengambil sampah yang menumpuk. Program Kartu Jakarta Sehat dengan mudah juga diluncurkan karena program tersebut merupakan penyederhanaan prosedur dari jamkesmas bagi keluarga miskin. Kartu Jakarta Sehat dapat langsung diperoleh puskesmas-puskesmas hanya dengan menunjukkan KTP dan kartu keluarga, tanpa harus ke RT, RW dan Kelurahan sehingga pasien yang ingin berobat gratis tidak dihadapkan pada prosedur yang panjang.
Sikap cepat, cermat dan rasional dalam menghadapi persoalan dapat mendorong para bawahan untuk menemukan cara baru yang lebih efektif dalam menyelesaikan masalah. Dengan kata lain, pemimpin transformasional mampu mendorong (menstimulasi) bawahan untuk selalu kreatif dan inovatif. Pada saat yang sama, sulit bagi bawahan untuk bersikap ABS (asal bapak senang) dalam melakukan suatu pekerjaan.
Karakter individualized consideration seorang pemimpin yang mampu memahami perbedaan individual para bawahannya. Walaupun Jokowi bersikap halus seperti orang jawa pada umumnya, tetapi dirinya membiarkan dan tidak mempermasalahkan sikap Ahok, wakil gubernurnya yang bicara ceplas-ceplos, lugas bahkan terkesan kasar.
Pemimpin transformasional mau dan mampu untuk mendengar aspirasi, mendidik, dan melatih bawahan. Jokowi dalam setiap kesempatan lebih senang mendengar masukan dari orang lain sehingga orang lain merasa aspirasinya didengar. Jokowi tidak ingin menggurui karena masyarakat yang sedang menghadapi masalah sebenarnya mengetahuai bagaimana sebaiknya masalah dipecahkan. Dalam hal ini, Jokowi tidak serta merta memutuskan atau mengeksekusi tanpa terlebih dulu mendapat masukan dari masyarakat yang terkena dampak program. sebagai contoh, dalam pemindahan atau relokasi PKL pada waktu masih menjadi Walikota Solo, dirinya berdialog dengan para PKL lebih dari 50 kali sebelum akhirnya para PKL sepakat direlokasi. Bukti lainnya, yaitu dalam pembangunan kampung deret dan pembangunan pemukiman di bantaran rel kereta api, terlebih dulu Jokowi meminta masyarakat merumuskan kommunity plan terlebih dulu. Dalam hal ini, Jokowi selalu menempatkan warga masyarakat sebagai subjek pembangunan.
Karakter individualized consideration juga ditunjukkan dengan kemampuannya melihat potensi prestasi dan kebutuhan berkembang para bawahan serta memfasilitasinya. Cara Jokowi memposisikan Ahok sebagai wakil gubernur memperlihatkan Jokowi sebagai pemimpin transformasional yaitu mampu memahami dan menghargai bawahan berdasarkan kebutuhan bawahan dan memperhatikan keinginan berprestas dan berkembang para bawahan. Ahok bukan ban serep bagi Jokowi dalam kegiatan seremonial atau hanya melakukan evaluasi atau kontrol terhadap birokrasi, tetapi juga mengambil policy tanpa harus menunggu keputusan Jokowi.
Jokowi sebagai gubernur bukan hanya seorang pemimpin birokrasi, tetapi juga seorang pemimpin di bidang politik. Apalagi Jokowi sejak awal terjun di kancah politik diusung oleh PDIP sehingga banyak pihak terutama dari para politisi melihat sosok Jokowi dari sudut pandang politik.
Politik terkait dengan upaya meraih kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan. Politik dan kekuasaan adalah tujuan antara (cara), bukan tujuan utama itu sendiri. Jokowi meraih kekuasaan dengan susah payah selama kampanye adalah untuk mendapatkan legitimasi menguasai sumber daya kekuasaan dan menggunakannya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Jakarta. Kekuasaan tidak boleh dipakai untuk kepentingan diri-sendiri. Oleh karena itu, birokrasi diarahkan bukan untuk mempertahankan kekuasaan sang Jokowi, tetapi diarahkan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Jokowi tidak memandang Ahok sebagai lawan politik sehingga kepada Ahok diberi banyak otoritas dalam membenahi internal birokrasi DKI Jakarta.
Sebagai politisi, Jokowi pastinya sadar bahwa untuk mewujudkan Jakarta yang lebih baik dibutuhkan kekuasaan atau pengaruh yang lebih besar untuk mempertahankan atau bahkan memperbesar pengaruh politiknya. Apakah aksioma Lord Acton yang menegaskan bahwa kekuasaan cenderung disalahgunakan, kekuasaan yang mutlak pasti disalahgunakan (power tend of corrupt, absolute power corrupt absolutely) berlaku untuk Jokowi? Bisa ya bisa juga tidak. Belajar dari track record Jokowi selama menjadi walikota Solo, tidak ada indikasi dirinya menyalahgunakan kekuasaan seperti korupsi, nepotisme, atau membangun kekuasaan dinasti sebagaimana dilakukan oleh banyak kepala daerah. Jokowi juga tidak meraih kekuasaan dengan cara-cara kotor, tetapi dengan investasi berupa karakter pribadi yang kuat, jujur, amanah, bergotong royong dan mau kerja keras.
Terpilihnya Jokowi sebagai walikota Solo pada periode kedua hingga mendapat dukungan 90% suara adalah hasil dari kerja nyata selama periode pertama. Jokowi membangun komunikasi politik dengan warga dengan sangat baik. Kebiasaan turun di tengah-tengah masyarakat menjadikan dirinya mendapat dukungan politik pada saat pemilu.
Pengalaman di Solo akan kembali terulang di mana Jokowi akan dipilh kembali menjadi gubernur DKI Jakarta periode kedua dengan dukungan suara mutlak. Diakui atau tidak, Jokowi tentu menyadari konsekuensinya dekat dengan warga sebagai pemilik hak suara dalam pemilu. Kedekatan dengan warga menjadikan komunikasi politik antara Jokowi menjadikan dirinya memiliki pengaruh kuat di hadapan rakyat Jakarta ketika gubernur yang kebetulan juga kader partai tersebut menunjukkan dirinya sebagai bagian dari PDIP.
Hal itu tidak menjadi persoalan selama politik-kekuasaan yang dicapai Jokowi sebagai sarana untuk mewujudkan kemakmuran atau kesejahteraan rakyat. Konsekuensinya, setiap politisi harus memiliki visi politik yang kuat serta komitmen yang tinggi atas prinsip-prinsip politik yang dianutnya; mampu memanfaatkan sumber daya politik yang ada secara optimal; bertindak berdasarkan kalkulasi politik yang rasional dan logis; serta mampu menghadirkan kebijakan-kebijakan politik yang produktif.
Kehadiran Jokowi dalam kancah politik di DKI Jakarta dengan mudah menyebar luas di tingkat nasional karena status DKI Jakarta sebagai ibukota negara, jantungnya Indonesia. Kepemimpinan Jokowi yang merangkak naik setelah dinyatakan sebagai pemenang pilgub DKI Jakarta tahap pertama telah menimbulkan kekhawatiran banyak pihak dan berusaha mengecilkan arti Jokowi. Sebagai contoh, Amin Rais, yang juga berasal dari Solo seperti Jokowi, mengungkap kepemimpinan Jokowi yang ternyata tidaklah istimewa. Setelah menjabat Walikota dalam dua priode, Solo yang dipimpinnya menjadi kota dengan kemiskinan yang melonjak.
Berbagai penghargaan yang diberikan kepada kota itu dari berbagai lembaga internasional tampaknya hanya bagian dari permainan promosi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan bahwa selama kepemimpinan Joko Widodo di Solo, angka kemiskinan justru meningkat. Misalnya, pada tahun 2007, angka kemiskinan di Solo 13,64 persen. Ternyata pada tahun berikutnya, 2008, angka itu meningkat menjadi 16,13 persen, 2009 (14,99 persen), 2010 (13,98 persen) dan pada 2011 meningkat lagi menjadi 16 persen.
Tuduhan bahwa kemiskinan meningkat dibenarkan oleh pemda Surakarta sendiri, hanya saja, terungkap pula bahwa indikator untuk mengukur miskin setidaknya, Pemda Surakarta menggunakan 25 indikator, yaitu 14 parameter dari BPS dan ditambahi dengan 11 parameter lokal yang ditetapkan sendiri oleh Pemda Kota Surakarta. Hal ini dimaksudkan agar indikator kemiskinan di Surakarta lebih mendekati kenyataan. Adapun 14 parameter dari BPS yakni : Luas lantai, Jenis Lantai, Jenis Dinding, Fasilitas Buang Air Besar, Sumber Air Minum, Penerangan Utama, Bahan Bakar Masak, Konsumsi Makanan, Frekuensi Makan, Konsumsi Pakaian, Kemampuan Berobat, Lapangan Pekerjaan, Pendidikan Tertinggi KK dan Kepemilikan Aset. Sementara 11 tambahan parameter Pemkot Solo yaitu : Ventilasi Udara, Jumlah Penghuni Rumah, Pembagian Sekat Ruangan, Cahaya Ruangan, Pendapatan keluarga, Tanggungan keluarga, Tingkat Pendidikan Anak Usia Sekolah, Keikutsertaan Dalam Asuransi Keluarga, Gangguan Penyakit Katastropik/menahun, Penyakit Sosial dan Penggunaan Alat Kontrasepsi.
AWAL MULA
Sosok Jokowi begitu dikenal oleh publik nasional meskipun dirinya secara legal formal hanyalah seorang gubernur. Jokowi makin dikenal bukan karena dia gubernur DKI Jakarta, tetapi karena gaya kepemimpinannya yang dipandang banyak kalangan sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekarang. Semula, ketika masih dalam tahap pencalonan sebagai gubernur DKI, begitu banyak pihak yang meragukan kemampuannya meskipun sebelumnya sudah dikenal sebagai walikota Solo yang berhasil dengan banyak prestasi. Tulisan ini bukan hendak melihat kebelakang, tetapi mengkaji sejauhmana kepemimpinan Jokowi yang dipandang baru oleh khalayak adalah hal yang sudah biasa dilakukan Jokowi sejak memimpin kota Solo. Khalayak Jakarta khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya belum biasa melihat gaya Jokowi tersebut sehingga merasa takjub, gembira dan muncul harapan baru akan Jakarta yang lebih baik.
Kemunculan Jokowi membawa fenomena baru dalam kancah kepemimpinan politik di Indonesia. Kebaruan dari sosok gubernur DKI periode 2012 – 2017 yang paling menonjol adalah gaya Jokowi blusukan (berjalan-jalan di tempat-tempat sempit) ke kampung-kampung padat penduduk di Jakarta. Jokowi dengan senang hati menemui warganya guna mengetahui secara langsung permasalahan yang dihadapi masyarakat Jakarta. Dengan mata telanjang, orang dapat melihat betapa Jokowi menjalin komunikasi dengan warganya tanpa jarak. Pengawalan minimum bagi Jokowi menjadikan dirinya lebih leluasa menyapa warganya, sebaliknya warga masyarakat juga leluasa untuk menyampaikan berbagai aspirasinya secara langsung kepada gubernurnya
Jokowi mendatangi kampung-kampung, mendatangi ke tempat permasalahan untuk menyelesaikan masalah. Terbukti Jokowi datang beberapa kali di tempat yang pernah dikunjunginya, tujuannya satu yaitu memastikan apa yang dijanjikan atau disepakati sebagai hasil dari kunjungan awal benar -benar ada tindak lanjut atau ada hasilnya. Misalnya kunjungan di rumah susun sederhana sewa (Rusunawa Marunda), Jokowi datang kedua kalinya untuk mengecek apakah pengecatan dan pemasangan pompa air sudah dipersiapkan. Jokowipun datang untuk ketiga kalinya untuk melihat progres perbaikan rusunawa tersebut
Munculnya Jokowi sebagai gubernur DKI dengan gayanya yang khas ternyata disikapi secara berbeda oleh sebagian elit politik di Jakarta. Jokowi dipandang hanya melakukan pencitraan guna menarik simpati warga. Kegiatan Jokowi juga dipandang membuang-buang waktu sehingga banyak yang menyarankan untuk mengurangi kegiatan blusukannya tersebut.
Bagi Jokowi dan warga Jakarta pada umumnya, pertemuan pemimpin dengan warganya adalah suatu kebutuhan agar komunikasi dapat terus berlangsung antara pemimpin dan yang dipimpin. Benar, bahwa dalam sistem pemerintahan modern, pertemuan seperti itu tidak harus selalu dilakukan karena komunikasi dapat pula dilakukan warga dengan lurah, camat, walikota atau dengan pejabat pemerintahan yang lain, termasuk berkomunikasi kepada wakil-wakil rakyatnya di parlemen.
Gaya kepemimpinan Jokowi yang unik, bukan hanya dari kebiasaannya blusukan, tetapi juga adanya pembagian pekerjaan yang jelas antara dirinya dengan Ahok sebagai wakil gubernur. Walau sebagai wakil Ahok pun mampu bersikap tegas, lantang dan garang karena di dalam dirinya memiliki otoritas bukan sebagai ban serep Jokowi. Alhasil, gebrakan Jokowi tidak hanya dalam membangun komunikasi politik dengan masyarakat, tetapi juga membangun komunikasi dengan elit birokrasi.
Bagi Jokowi, apa yang dilakukan di DKI Jakarta yaitu gaya membenahi internal birokrasi dan gaya blusukan sudah biasa dilakukannya di Solo. Agar berjalan optimal, Jokowi memaksimalkan peran wakil gubernur dengan cara berbagai tugas. Tugas membenahi internal birokrasi guna mempersiapkan performa birokrasi dalam memberikan layanan publik dilakukan oleh wakilnya, Basuki Tjahaya Purnama atau akrab dipanggil Ahok. Tugas menggali masalah yang ada di masyarakat sekaligus menumbuhkan partisipasi warga dilakukan oleh Jokowi.
Pembagian tugas antara kepala daerah dan wakilnya seperti ini sudah diterapkan dan berhasil ketika Jokowi menjabat walikota Solo. Cara ini juga terbukti efektif menunjukkan hasil di Jakarta meskipun dirinya dan Ahok baru menjabat lebih kurang 1 bulan sejak dirinya dilantik tanggal 15 Oktober 2012. Meskipun pujian banyak datang dari warga dan para tokoh, lebih banyak elit politik masih bersikap wait and see terhadap gebrakan Jokowi dalam seratus hari pertama. Dilihat dari kacamata poli tik kekuasaan, keberhasilan Jokowi sebenarnya tidak begitu diharapkan karena akan mengakibatkan semakin kuatnya pengaruh Jokowi – Ahok dan partai pengusungnya yaitu PDI-P dan Gerindra. Karena itu, wajar apabila Sutiyoso menyarankan Jokowi menghentikan kegiatan blusukan dan langsung action. Ruhut Sitompul dari partai Demokrat pun menuduh Jokowi hanya pencitraan atau cari muka di hadapan warga Jakarta. Demikian pula dari DPRD DKI Jakarta sendiri menyarankan agar Jokowi mengurangi kegiatan jalan-jalan atau blusukan tersebut.
Jokowi menanggapi kritikan tersebut sebagai masukan untuk lebih meningkatkan kinerjanya. Terkait dengan saran untuk menghentikan kegiatannya jalan-jalan atau blusukan di lapangan, Jokowi menegaskan akan terus melakukannya selama 5 tahun masa jabatannya. Alasannya sangat logis untuk tetap turun ke lapangan atau blusukan yaitu sebagai fungsi manajemen kontrol. Perencanaan program yang tanpa ada kontrol yang baik dapat mengakibatkan salah sasaran atau kegagalan. Manajemen kontrol tidak mungkin dilakukan hanya di belakang meja, tapi harus melihat langsung di lapangan.
Gaya Jokowi dalam memimpin Jakarta memang mengkhawatirkan bagi orang-orang politik yang berburu kekuasaan. Pasalnya, cara Jokowi dipastikan akan menjadikan Jokowi semakin kuat memperoleh dukungan dari masyarakat luas. Hal ini dibuktikan ketika Jokowi memimpin Solo, dengan selalu turun ke lapangan menemui warga masyarakat dari berbagai kalangan dan profesi, dirinya kemudian terpilih untuk menjadi walikota periode kedua dengan perolehan suara 90% suara. Hal serupa juga akan terjadi apabila Jokowi mampu konsisten dengan caranya tersebut.
PENCAPAIAN
Selama menjabat, banyak perubahan yang dicapai, di antara branding untuk kota Solo, yaitu: “The Spirit of Java", merelokasi pedagang barang bekas di Taman Banjarsari hampir tanpa gejolak, merevitalisasi fungsi lahan hijau terbuka, memberi syarat pada investor untuk mau memikirkan kepentingan publik, melakukan komunikasi langsung rutin dan terbuka (disiarkan oleh televisi lokal) dengan masyarakat, taman Balekambang yang terlantar semenjak ditinggalkan oleh pengelolanya, dijadikannya taman. Jokowi juga tak segan menampik investor yang tidak setuju dengan prinsip kepemimpinannya. Jokowi juga berhasil mengajukan Solo atau nama resminya Surakarta untuk menjadi anggota Organisasi Kota-kota Warisan Dunia dan diterima pada tahun 2006, termasuk menfasilitasi perdamaian keluarga Kraton Surakarta yang terlibat konflik antar keturunan Pakubuwono XII sejak tahun 2004.
Keberhasilan Jokowi mengubah wajah Solo, tidak lepas dari kemampuannya mengubah birokrasi pemerintahan menjadi birokrasi yang bersifat pelayanan. Semula, birokrasi di Solo ataupun di DKI Jakarta dan Indonesia pada umumnya lebih banyak berperan sebagai organ negara yang lebih memihak pada kepentingan kekuasaan serta mengambil untung dengan menjadi broker bagi pihak yang mendominasi masyarakat (Anwari, 2003) Broker dalam menyelesaikan urusan, mengambil untung dengan pungli dalam memberikan pelayanan serta mempersulit urusan bagi masyarakat yang tidak mampu membayar. Bagi Jokowi dan Ahok, birokrasi pemerintahan adalah organ dalam negara yang mempunyai fungsi pelayanan (service), pemberdayaan (empowerment) sekaligus berperan dalam pembangunan (Rasyid, 1997), Proses mengubah atau mentransformasi birokrasi dari berorientasi pada kekuasaan Sebagai kepala pemerintahan, Jokowi memiliki leadership seperti yang diharapkan oleh masyarakat.
Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang (pemimpin) untuk mempengaruhi orang lain sehingga orang yang dipengaruhi bertingkah laku seperti yang dikehendaki oleh pemimpin. Kepemimpinan ada yang bersifat resmi (formal leadership) ada pula yang tidak resmi (informal leadership). Kemunculan seorang pemimpin merupakan hasil dari proses dinamis memenuhi kebutuhan-kebutuhan kelompok (soekanto, 2002). Sosok Jokowi ketika menemui warga di kampung-kampung di Jakarta dengan pakaian bebas, tanpa pengawalan ketat, bahkan tanpa protokoler kegubernuran sejatinya menampilkan dirinya sebagai pemimpin informal bagi masyarakatnya. Ketika Jokowi mengambil keputusan-keputusan secara cepat ketika persoalan yang ada di lapangan, maka Jokowi juga memperlihatkan diri sebagai pemimpin formal bahwa dirinya adalah gubernur yang memiliki otoritas untuk mengambil keputusan .
Secara teori, ada banyak model kepemimpinan yang dapat diterapkan seperti model transformational, model kharismatik, dan model situasional. Dari berbagai model tersebut, model transformatif lebih menonjolkan peran pemimpin untuk melakukan perubahan-perubahan secara mendasar di dalam organisasi, sehingga kinerja birokrasi menjadi lebih efektif dan efisien.
Kepemimpinan transformasional menurut Avolio dkk (stone at al, 2004) memiliki karakteristik : Idealized influence (or charismatic influence) Inspirational motivation, Intellectual stimulation, dan Individualized consideration. Jokowi mampu menampilkan karakter atau ciri-ciri sebagai pemimpin transformasional.
Karakter idealized influence (or charismatic influence) diperlihatkan oleh kharisma Jokowi yang mampu “menyihir” bawahan untuk bereaksi mengikuti pimpinan. Dalam bentuk kongkrit, kharisma ini ditunjukan melalui perilaku Jokowi yang mencerminkan visi dan misi organisasi yang dipimpinnya yaitu pelayanan kepada masyarakat. Dalam berbagai kesempatan, Jokowi selalu menegaskan agar mengutamakan pelayanan. Kartu Jakarta Sehat guna melayani warga berobat gratis di rumah sakit/puskesmas dan kesiapsiagaan banjir membuktikan perilakunya sesuai dengan misinya yaitu pelayanan.
Dalam hal menjalankan tugas, Jokowi mempunyai pendirian yang kukuh. Ketika kebiasaannya jalan-jalan atau blusukan ke tengah-tengah masyarakat mendapat kritikan banyak pihak, Jokowi justru menegaskan akan terus jalan-jalan selama 5 tahun sebagai wujud pelaksanaan manajemen kontrol. Jokowi memiliki komitmen kuat dan konsisten terhadap setiap keputusan yang telah diambil. Janji untuk mengeluarkan kartu Jakarta Sehat dan Kartu Jakarta Pintar benar-benar diwujudkan beberapa minggu setelah dirinya dilantik.
Karakter idealized influence (or charismatic influence) juga ditunjukkan dengan sikapi Jokowi yang menghargai bawahan, bahkan warganya. Di setiap kesempatan, Jokowi bersedia mendengarkan masukanmasukan dari warganya secara langsung. Sikap menghargai ini tercermin dari dekat nya jarak komunikasi dirinya dengan pejabat-pejabat di bawahnya. Pengaruh kharismatik yang ada pada Jokowi ini tidak lepas dari kemampuannya menjadi role model yang dikagumi, dihargai, dan diikuti oleh bawahannya. Jokowi tidak sedang berwacana tetapi action langsung secara pribadi maupun organisasi. Secara pribadi tampak dari role model yang dimainkan, actions secara organisasi dilakukan karena dirinya mendorong birokrasi agar melaksanakan fungsi pelayanan dengan benar.
Karakter Inspirational motivation ditunjukkan seorang pemimpin yang mampu menerapkan standar yang tinggi akan tetapi sekaligus mampu mendorong bawahan untuk mencapai standar tersebut. Standar tinggi tampak dari kehati-hatian dan penghematan dalam mengelola anggaran, kehati -hatian dalam mempelajari proyek Monorail dan proyek transportasi massal yang cepat MRT (Mass Rapid Transportation), ketelitian dalam melihat detail pelaksanaan program dan layanan di masyarakat. Jokowi tidak serta merta memutuskan actions MRT sebelum semua detail yang ingin diketahui Jokowi terjawab oleh PT MRT. Untuk program yang digagasnya sejak kampanye yaitu normalisasi sungai dan kampung deret pun, Jokowi menerapkan standar tinggi dan hati-hati dalam mengkajinya.
Karakter seperti ini mampu membangkitkan optimisme dan antusiasme yang tinggi dari aparat maupun warga masyarakatnya. Sikap Jokowi menunjukkan bahwa dirinya bersungguh-sungguh, bukan sedang berwacana. Hal ini menjadikan orang-orang yang dipimpinnya optimis standar tinggi yang ditetapkan dapat tercapai. Terobosan-terobosan Jokowi, baik yang masih berupa ide, sedang dirumuskkan ataupun sedang dijalankan mampu memberikan inspirasi dan memotivasi bawahannya. Tindakan Jokowi menggambarkan bahwa selangkah demi selangkah ada perbaikan bagi DKI Jakarta.
Karakter intellectual stimulation terlihat dari kemampuan Jokowi dalam mendorong bawahannya untuk menyelesaikan permasalahan dengan cepat, cermat dan rasional. Walaupun dalam berbagai kesempatan Jokowi tampak dengan mudah menjanjikan tentang suatu perbaikan, tetapi Jokowi juga mengajak masyarakat untuk berpikir rasional. Misalnya, dalam mengatasi banjir, dia sangat rasional bahwa banjir akan diatasi secara bertahap dengan menjalin kerjasama Provinsi Banten dan Provinsi Jawa Barat guna mengendalikan aliran sungai yang berhulu di kedua provinsi tersebut. Demikian pula dalam pembangunan monorail dan MRT, Jokowi cermat dan rasional. Untuk hal -hal yang sebenarnya diselesaikan dengan cepat, lebih efektif dan efisien, Jokowi pun mendesak bawahan untuk segera melaksanakan. Sebagai contoh, ketika melihat sampah menumpuh di pintu air Manggarai, dirinya langsung meminta bawahan untuk mengirimkan tambahan 1 ekskavator untuk mengambil sampah yang menumpuk. Program Kartu Jakarta Sehat dengan mudah juga diluncurkan karena program tersebut merupakan penyederhanaan prosedur dari jamkesmas bagi keluarga miskin. Kartu Jakarta Sehat dapat langsung diperoleh puskesmas-puskesmas hanya dengan menunjukkan KTP dan kartu keluarga, tanpa harus ke RT, RW dan Kelurahan sehingga pasien yang ingin berobat gratis tidak dihadapkan pada prosedur yang panjang.
Sikap cepat, cermat dan rasional dalam menghadapi persoalan dapat mendorong para bawahan untuk menemukan cara baru yang lebih efektif dalam menyelesaikan masalah. Dengan kata lain, pemimpin transformasional mampu mendorong (menstimulasi) bawahan untuk selalu kreatif dan inovatif. Pada saat yang sama, sulit bagi bawahan untuk bersikap ABS (asal bapak senang) dalam melakukan suatu pekerjaan.
Karakter individualized consideration seorang pemimpin yang mampu memahami perbedaan individual para bawahannya. Walaupun Jokowi bersikap halus seperti orang jawa pada umumnya, tetapi dirinya membiarkan dan tidak mempermasalahkan sikap Ahok, wakil gubernurnya yang bicara ceplas-ceplos, lugas bahkan terkesan kasar.
Pemimpin transformasional mau dan mampu untuk mendengar aspirasi, mendidik, dan melatih bawahan. Jokowi dalam setiap kesempatan lebih senang mendengar masukan dari orang lain sehingga orang lain merasa aspirasinya didengar. Jokowi tidak ingin menggurui karena masyarakat yang sedang menghadapi masalah sebenarnya mengetahuai bagaimana sebaiknya masalah dipecahkan. Dalam hal ini, Jokowi tidak serta merta memutuskan atau mengeksekusi tanpa terlebih dulu mendapat masukan dari masyarakat yang terkena dampak program. sebagai contoh, dalam pemindahan atau relokasi PKL pada waktu masih menjadi Walikota Solo, dirinya berdialog dengan para PKL lebih dari 50 kali sebelum akhirnya para PKL sepakat direlokasi. Bukti lainnya, yaitu dalam pembangunan kampung deret dan pembangunan pemukiman di bantaran rel kereta api, terlebih dulu Jokowi meminta masyarakat merumuskan kommunity plan terlebih dulu. Dalam hal ini, Jokowi selalu menempatkan warga masyarakat sebagai subjek pembangunan.
Karakter individualized consideration juga ditunjukkan dengan kemampuannya melihat potensi prestasi dan kebutuhan berkembang para bawahan serta memfasilitasinya. Cara Jokowi memposisikan Ahok sebagai wakil gubernur memperlihatkan Jokowi sebagai pemimpin transformasional yaitu mampu memahami dan menghargai bawahan berdasarkan kebutuhan bawahan dan memperhatikan keinginan berprestas dan berkembang para bawahan. Ahok bukan ban serep bagi Jokowi dalam kegiatan seremonial atau hanya melakukan evaluasi atau kontrol terhadap birokrasi, tetapi juga mengambil policy tanpa harus menunggu keputusan Jokowi.
Jokowi sebagai gubernur bukan hanya seorang pemimpin birokrasi, tetapi juga seorang pemimpin di bidang politik. Apalagi Jokowi sejak awal terjun di kancah politik diusung oleh PDIP sehingga banyak pihak terutama dari para politisi melihat sosok Jokowi dari sudut pandang politik.
Politik terkait dengan upaya meraih kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan. Politik dan kekuasaan adalah tujuan antara (cara), bukan tujuan utama itu sendiri. Jokowi meraih kekuasaan dengan susah payah selama kampanye adalah untuk mendapatkan legitimasi menguasai sumber daya kekuasaan dan menggunakannya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Jakarta. Kekuasaan tidak boleh dipakai untuk kepentingan diri-sendiri. Oleh karena itu, birokrasi diarahkan bukan untuk mempertahankan kekuasaan sang Jokowi, tetapi diarahkan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Jokowi tidak memandang Ahok sebagai lawan politik sehingga kepada Ahok diberi banyak otoritas dalam membenahi internal birokrasi DKI Jakarta.
Sebagai politisi, Jokowi pastinya sadar bahwa untuk mewujudkan Jakarta yang lebih baik dibutuhkan kekuasaan atau pengaruh yang lebih besar untuk mempertahankan atau bahkan memperbesar pengaruh politiknya. Apakah aksioma Lord Acton yang menegaskan bahwa kekuasaan cenderung disalahgunakan, kekuasaan yang mutlak pasti disalahgunakan (power tend of corrupt, absolute power corrupt absolutely) berlaku untuk Jokowi? Bisa ya bisa juga tidak. Belajar dari track record Jokowi selama menjadi walikota Solo, tidak ada indikasi dirinya menyalahgunakan kekuasaan seperti korupsi, nepotisme, atau membangun kekuasaan dinasti sebagaimana dilakukan oleh banyak kepala daerah. Jokowi juga tidak meraih kekuasaan dengan cara-cara kotor, tetapi dengan investasi berupa karakter pribadi yang kuat, jujur, amanah, bergotong royong dan mau kerja keras.
Terpilihnya Jokowi sebagai walikota Solo pada periode kedua hingga mendapat dukungan 90% suara adalah hasil dari kerja nyata selama periode pertama. Jokowi membangun komunikasi politik dengan warga dengan sangat baik. Kebiasaan turun di tengah-tengah masyarakat menjadikan dirinya mendapat dukungan politik pada saat pemilu.
Pengalaman di Solo akan kembali terulang di mana Jokowi akan dipilh kembali menjadi gubernur DKI Jakarta periode kedua dengan dukungan suara mutlak. Diakui atau tidak, Jokowi tentu menyadari konsekuensinya dekat dengan warga sebagai pemilik hak suara dalam pemilu. Kedekatan dengan warga menjadikan komunikasi politik antara Jokowi menjadikan dirinya memiliki pengaruh kuat di hadapan rakyat Jakarta ketika gubernur yang kebetulan juga kader partai tersebut menunjukkan dirinya sebagai bagian dari PDIP.
Hal itu tidak menjadi persoalan selama politik-kekuasaan yang dicapai Jokowi sebagai sarana untuk mewujudkan kemakmuran atau kesejahteraan rakyat. Konsekuensinya, setiap politisi harus memiliki visi politik yang kuat serta komitmen yang tinggi atas prinsip-prinsip politik yang dianutnya; mampu memanfaatkan sumber daya politik yang ada secara optimal; bertindak berdasarkan kalkulasi politik yang rasional dan logis; serta mampu menghadirkan kebijakan-kebijakan politik yang produktif.
Kehadiran Jokowi dalam kancah politik di DKI Jakarta dengan mudah menyebar luas di tingkat nasional karena status DKI Jakarta sebagai ibukota negara, jantungnya Indonesia. Kepemimpinan Jokowi yang merangkak naik setelah dinyatakan sebagai pemenang pilgub DKI Jakarta tahap pertama telah menimbulkan kekhawatiran banyak pihak dan berusaha mengecilkan arti Jokowi. Sebagai contoh, Amin Rais, yang juga berasal dari Solo seperti Jokowi, mengungkap kepemimpinan Jokowi yang ternyata tidaklah istimewa. Setelah menjabat Walikota dalam dua priode, Solo yang dipimpinnya menjadi kota dengan kemiskinan yang melonjak.
Berbagai penghargaan yang diberikan kepada kota itu dari berbagai lembaga internasional tampaknya hanya bagian dari permainan promosi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan bahwa selama kepemimpinan Joko Widodo di Solo, angka kemiskinan justru meningkat. Misalnya, pada tahun 2007, angka kemiskinan di Solo 13,64 persen. Ternyata pada tahun berikutnya, 2008, angka itu meningkat menjadi 16,13 persen, 2009 (14,99 persen), 2010 (13,98 persen) dan pada 2011 meningkat lagi menjadi 16 persen.
Tuduhan bahwa kemiskinan meningkat dibenarkan oleh pemda Surakarta sendiri, hanya saja, terungkap pula bahwa indikator untuk mengukur miskin setidaknya, Pemda Surakarta menggunakan 25 indikator, yaitu 14 parameter dari BPS dan ditambahi dengan 11 parameter lokal yang ditetapkan sendiri oleh Pemda Kota Surakarta. Hal ini dimaksudkan agar indikator kemiskinan di Surakarta lebih mendekati kenyataan. Adapun 14 parameter dari BPS yakni : Luas lantai, Jenis Lantai, Jenis Dinding, Fasilitas Buang Air Besar, Sumber Air Minum, Penerangan Utama, Bahan Bakar Masak, Konsumsi Makanan, Frekuensi Makan, Konsumsi Pakaian, Kemampuan Berobat, Lapangan Pekerjaan, Pendidikan Tertinggi KK dan Kepemilikan Aset. Sementara 11 tambahan parameter Pemkot Solo yaitu : Ventilasi Udara, Jumlah Penghuni Rumah, Pembagian Sekat Ruangan, Cahaya Ruangan, Pendapatan keluarga, Tanggungan keluarga, Tingkat Pendidikan Anak Usia Sekolah, Keikutsertaan Dalam Asuransi Keluarga, Gangguan Penyakit Katastropik/menahun, Penyakit Sosial dan Penggunaan Alat Kontrasepsi.
TAMBAHAN
Kepemimpinan Jokowi menghadirkan harapan bagi masyarakat Jakarta khususnya dan umumnya di Indonesia tentang adanya perubahan ke arah yang lebih baik bagi ibukota Jakarta. Kepemimpinan transformasional Jokowi tampak dari kemampuan dirinya membawa birokrasi pemerintah yang berorientasi pada pelayanan kepada masyarakat. Kehadiran Jokowi mendapatkan kekuasaan politi k melalui pilgub diraih melalui cara-cara legal dan sah serta bersih dari intrik politik uang. Meskipun kemenangan Jokowi telah mengecewakan lawan-lawan politiknya, Jokowi tetap menggunakan kekuasaannya bukan untuk mempertahankan kekuasaan itu sendiri, tetapi untuk melayani.
Berkomentar u/ kritik & saran yg baik, demi kemajuan bersama,,